TENTANG 3 KATA AJAIB - Refleksi Pesan Singkat Seorang Guru
Bismillahirrahmanirrahiim
Ada satu hal yang rasanya ingin saya bagikan, karena sudah tertahan cukup lama tersimpan, namun kisahnya senantiasa menginspirasi diri saya pribadi untuk selalu bersikap ramah dalam kondisi apapun. Saya tidak peduli berapa banyak jumlah 'like' yang akan diberikan pada postingan ini, tapi mudah-mudahan bisa menginspirasi kita semua.
Saya selalu kagum dengan orang-orang yang ramah, bahkan sedikit merasa takut jika kemudian saya melukai hatinya. Saya juga bisa sangat kesal dengan orang-orang yang kecut juga tidak sopan. Well, sebenarnya yang melatarbelakangi saya menulis ini adalah – ternyata masih ada beberapa orang yang berilmu banyak serta berpangkat tinggi, namun masih bersikap sangat sopan kepada orang yang mungkin berilmu rendah dan tidak berpangkat. Selama ini saya selalu berpikir, bahwa jenis orang seperti ini sudah tidak ada – ilmu, pengalaman, usia, dan hartanya telah memakan sikap santun dan lembut dalam dirinya kepada orang yang lebih kecil.
Sejujurnya saya sangat merindukan sosok tua dan berilmu untuk bisa dijadikan panutan. Tapi, kenyataan yang saya temukan bahwa seorang guru pun telah bersikap sangat sinis, kecut, juga menyebalkan tiap kali merespon jawaban-jawaban anak didiknya. Hal yang tetap membuat saya tertawa geli sampai saya menulis ini pun adalah, diterbitkannya sebuah aturan-aturan yang ditujukkan kepada mahasiswa tentang bagaimana cara mereka dalam menghubungi dosen. Kenyataannya, meski telah menaati aturan, terkadang balasan yang diterima malah lebih tidak beraturan (no offense, yet it is real).
Di luar dari batas pengetahuan saya mengenai ‘setiap pribadi memiliki karakter yang berbeda atau memiliki kesibukannya masing-masing’, hal ini tidak semestinya menjadi alasan untuk tidak berbalas keramahan yang tiap kali lebih banyak diberikan dari yang kecil kepada yang besar. Saya merasa bahwa dunia ini memang sedang krisis panutan – karena sampai sosok yang seharusnya dapat digugu dan ditiru pun tak bisa dicontoh meski hanya sekedar membalas pesan dengan baik, membalas salam atau berbalik bertanya kabar pun tidak, tak jarang pula pesan kita (red: mahasiswa) lebih banyak berakhir untuk sekedar bercentang biru. Kalau memang beralasan jawaban salam tak perlu ditulis karena bisa langsung diucapkan, lantas apakah kami tetap terbilang sopan ketika kita berpesan tanpa mengucap salam? Atau tak perlu menjawab ‘Iya’ atau ‘Tidak’ karena centang biru lebih representatif dibanding kata tersebut?
Kejadian ini bukan kali pertama dalam hidup saya, sudah berkali-kali, hanya saja saya simpan seorang diri. Saya sangat merasa kagum kepada orang yang memiliki ilmu dan berjabatan tinggi, namun tiap kali ditanya melalui pesan singkat dijawab dengan penuh kesantunan. Saking kagumnya, saya selalu men-screenshoot balasan pesan tersebut, dan saya simpan sebagai bukti masih ada orang yang berilmu dan beradab. Mungkin akan terdengar berlebihan, tapi meski dengan hanya balasan kata “Maaf (Sorry), Terima Kasih (Thanks), Tolong (Please)” itu sudah cukup untuk membuat saya menjadi kagum kepada orang tersebut.
Saya selalu percaya bahwa goal terpenting dalam berilmu adalah berakhlak mulia, bahkan dalam Islam diajarkan untuk selalui mendahului adab di atas ilmu, karena adab adalah tanda dalamnya ilmu dan tingginya wara’ seseorang dan tawadhu’ terhadap ilmu dan adab - walaupun itu dimiliki oleh orang yang usianya jauh lebih muda.
Foto 1. Guru Pamong PPL aku nih sopan banget
Foto 2. Kira-kira ini dari siapa ya ?
Foto 3. Maaf - iya pak saya maafkan hehe
Foto 4. Ini dari professor lohh
Mengaitkan antara 3 kata ajaib dengan perumpaan pentingnya adab di atas ilmu seperti meunjukkan bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah bukan seberapa banyak ilmu yang kita miliki, tapi seberapa besar pengaruh ilmu-ilmu tersebut terhadap perubahan adab kita. Saya pikir bahwa tidak akan menurunkan derajat kita apabila berbalas keramahan kepada orang yang lebih muda dari kita. Tidak perlu sungkan hanya untuk sekedar membalas salam, memulai dengan kata tolong / maaf, dan mengakhirinya dengan ucapan terima kasih. Sikap sombong karena merasa kitalah yang paling berpengalaman dalam berilmu malah menunjukkan bahwa sesungguhnya sangat-sedikit-sekali ilmu yang telah kita peroleh.
Semua dapat bermula dari yang muda pada yang tua atau dari yang tua pada yang muda, artinya kita bisa sama-sama melakukannya. Karena menjadi sopan dan santun bukan masalah jatah waktu, selalu harus dilakukan terus-terusan oleh yang muda, sedangkan yang tua hanya terus-terusan menerimanya. Jika seperti ini, maka lingkaran yang akan tercipta menunjukkan bahwa sikap ramah hanya berlaku pada saat muda saja, namun saat telah beranjak tua, ia akan meniru para pendahulunya.
Mengakhiri tulisan ini, saya pernah membaca salah satu pesan ulama besar, Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) berkata “Kisah-kisah tentang kehidupan para ulama dan duduk dalam majlis mereka lebih aku sukai dari mempelajari banyak ilmu, karena kisah-kisah itu penuh dengan ketinggian adab dan akhlak mereka.” Artinya bahwa guru / orang tua memiliki peran vital dalam memberikan contoh yang baik kepada anak yang sedang dalam proses belajar.
Terima kasih
Komentar
Posting Komentar